Masyarakat masih sering sekali salah dalam memahami apa itu jilbab dan apa itu
kerudung. Jilbab adalah penutup kepala yang berukuran lebar dan memanjang ke
bawah sehingga jika di tutupkan ke kepala maka bagian bawahnya bisa sampai ke
bagian pinggang seorang wanita. Mungkin ini yang saya sering dengar dengan
istilah jilbaber. Kerudung itu adalah kain penutup kepala yang biasanya hanya
di tutupkan ke kepala tidak di balutkan, jadi seperti seolah kebaya penutup
kepala yang rambutnya masih kelihatan.
Jilbab dan kerudung merupakan kewajiban atas perempuan muslimah yang ditunjukkan oleh dua ayat Al-Qur`an yang berbeda. Kewajiban jilbab dasarnya surah Al-Ahzab ayat 59, sedang kewajiban kerudung (khimar) dasarnya adalah surah An-Nur ayat 31.
“Hai Nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin,
‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.
Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Ahzab [33] : 59).
Karena
al qur’an diturunkan dengan bahasa arab, maka kita harus mengembalikan tafsri
surat di atas kedalam bahasa arab pula, bukan dengan bahasa kita. Karena untuk
memahami Islam maka harus tahu bahasa arab, itulah kenapa bahasa arab hukumnya
fardhu ’ain bagi orang Islam.
Dalam ayat ini terdapat kata jalabib yang
merupakan bentuk jamak (plural) dari kata jilbab. Memang para mufassir berbeda
pendapat mengenai arti jilbab ini. Imam Syaukani dalam Fathul Qadir (6/79),
misalnya, menjelaskan beberapa penafsiran tentang jilbab. Imam Syaukani sendiri
berpendapat jilbab adalah baju yang lebih besar daripada kerudung, dengan
mengutip pendapat Al-Jauhari pengarang kamus Ash-Shihaah, bahwa jilbab adalah
baju panjang dan longgar (milhafah). Ada yang berpendapat jilbab adalah semacam
cadar (al-qinaa’), atau baju yang menutupi seluruh tubuh perempuan (ats-tsaub
alladzi yasturu jami’a badan al-mar`ah). Menurut Imam Qurthubi dalam Tafsir
Al-Qurthubi (14/243), Dari berbagai pendapat tersebut, yang sahih adalah
pendapat terakhir, yakni jilbab adalah baju yang menutupi seluruh tubuh
perempuan.
Ini
juga sejalan dengan pendapat syaikh taqiyudin an nabhani dalam kitab An-Nizham
al-Ijtima’i fil Islam, hal. 45-46). Beliau mengatakan bahwa jilbab itu bukanlah
kerudung, melainkan baju panjang dan longgar (milhafah) atau baju kurung
(mula`ah) yang dipakai menutupi seluruh tubuh di atas baju rumahan. Jilbab
wajib diulurkan sampai bawah (bukan baju potongan), sebab hanya dengan cara
inilah dapat diamalkan firman Allah (artinya) “mengulurkan jilbab-jilbabnya ke
seluruh tubuh mereka.” Dengan baju potongan, berarti jilbab hanya menutupi sebagian
tubuh, bukan seluruh tubuh.
Bagaimana dengan kerudung atau
khimar?
Kewajiban memakai khimar atau
kerudung ini terdapat pada surah an Nur ayat 31 yang berbunyi:
"Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita…’
Dalam ayat ini, terdapat kata khumur,
yang merupakan bentuk jamak (plural) dari khimaar. Arti khimaar adalah
kerudung, yaitu apa-apa yang dapat menutupi kepala (maa yughaththa bihi
ar-ra`su). (Tafsir Ath-Thabari, 19/159; Ibnu Katsir, 6/46; Ibnul ‘Arabi,
Ahkamul Qur`an, 6/65 ). Artinya, kerudung bukanlah sebatas kain yang dibalutkan
ke kepala saja, namun sebuah kain yang dijadikan penutup kepala hingga menutupi
dada mereka.
Kesimpulan
dari dua hal di atas adalah jilbab bukanlah kerudung melainkan sebuah jubah
yang mungkin bisa kita sebut sebagai sebuah gamis yang biasanya menutupi tubuh
wanita muslimah.
Nah,
jika telah jelas perkara di atas, maka mari kita kaji persolaan menutup aurat
dan persoalan memakai busana muslimah. Kedua hal ini adalah dua hal yang
berbeda, dua kewajiban ini tidak boleh dicampuradukan, karena jika
dicampuradukan maka bisa menimbulkan persepsi yang salah terhadapnya.
Perlu difahami bahwa dalam
syariah Islam dalam masalah menutup ’aurat atau satru al-’aurat,
syariah tidak menjelaskan atau mensyaratkan pakaian tertentu atau bahan
tertentu yang harus di pakai oleh seorang muslimah untuk menutupi ’auratnya. Di
dalam syariat Islam cuma ada pensyaratan bahwa pakaian tersebut harus menutup
aurat dan menutupi kulitnya. Jadi, seorang wanita boleh mengunakan pakaian
jenis dan model tipe apapun untuk menutupi auratnya.
Yang manakah aurat wanita yang
boleh tampak itu?
Seluruh
tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Hal
ini berlandaskan firman Allah SWT:
“Dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.”(Qs. an-Nuur [24]: 31).
Yang
dimaksud “wa laa yubdiina ziinatahunna” (janganlah mereka menampakkan
perhiasannya), adalah “wa laa yubdiina mahalla ziinatahinna” (janganlah mereka
menampakkan tempat-tempat (anggota tubuh) yang di situ dikenakan perhiasan)
(Lihat Abu Bakar Al-Jashshash, Ahkamul Qur’an, juz III, hal. 316).
Selanjutnya,
“illa maa zhahara minha” (kecuali yang (biasa) nampak dari padanya). Jadi ada
anggota tubuh yang boleh ditampakkan. Anggota tubuh tersebut, adalah wajah dan
dua telapak tangan. Demikianlah pendapat sebagian shahabat, seperti ‘Aisyah,
Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar (Al-Albani, 2001 : 66). Ibnu Jarir Ath-Thabari (w.
310 H) berkata dalam kitab tafsirnya Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, juz
XVIII, hal. 84, mengenai apa yang dimaksud dengan “kecuali yang (biasa) nampak
dari padanya” (illaa maa zhahara minha): “Pendapat yang paling mendekati
kebenaran adalah yang mengatakan, ‘Yang dimaksudkan adalah wajah dan dua
telapak tangan’.” Pendapat yang sama juga dinyatakan Imam Al-Qurthubi dalam
kitab tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, juz XII, hal. 229 (Al-Albani, 2001
: 50 & 57).
Jadi,
yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan dua telapak
tangan. Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan
muslimah di hadapan Nabi Saw sedangkan beliau mendiamkannya. Kedua anggota
tubuh ini pula yang nampak dalam ibadah-ibadah seperti haji dan shalat. Kedua
anggota tubuh ini biasa terlihat di masa Rasulullah Saw, yaitu di masa masih
turunnya ayat al-Qur’an (An-Nabhani, 1990 : 45). Di samping itu terdapat alasan
lain yang menunjukkan bahwasanya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali
wajah dan dua telapak tangan karena sabda Rasulullah Saw kepada Asma’ binti Abu
Bakar:
“Wahai Asma’ sesungguhnya seorang
wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya menampakkan
tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.” (HR. Abu Dawud)
Inilah
dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwasanya seluruh tubuh wanita itu
adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Maka diwajibkan atas
wanita untuk menutupi auratnya, yaitu menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah
dan telapak tangannya.
Mungkin
timbul pertanyaan, lha… kok dari penjelasan di atas wanita boleh memakai jenis
pakain dan model apapun untuk menutupi auratnya?
Jawabannya
adalah, karena kita sedang berbicara pada konteks kehidupan khusus seorang
muslimah. Di dalam kehidupan khusus, maka seorang muslimah tidak wajib memakai
jilbab, bukan berarti ia lantas menampakan auratnya, namun ia tetap menutupi
auratnya di hadapan laki-laki yang bukan mahram dia dan tidak memakai jilbab
(gamis).
Sebagaimana ketika Rasulullah
berada di rumah Abu bakar dan melihat putri Abu bakar yang tidak menutupi
auratnya lantas rasulullah berkata, “Wahai Asma’ sesungguhnya seorang
wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya menampakkan
tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.” (HR.
Abu Dawud)
Lantas, kapankah jilbab itu harus
di pakai oleh seorang muslimah?
Kita
telah membahas seputar wanita yang telah menutupi auratnya tadi. Nah, walaupun
ia telah menutupi auratnya dengan baik yakni warna kulitnya sudah tidak tampak
dan semua anggota badannya telah tertutupi kecuali muka dan telapak tangan,
maka bukan berarti ia boleh keluar rumah. Kenapa? Karena syariat Islam telah
mengatur tentang memakai busana muslimah ketika keluar rumah dan di dalam
rumah. Itulah sejak awal saya katakan, jangan mencampurkan kewajiban menutupi
aurat dan kewajiban memakai pakaian muslimah.
Mengapa?
Sebab untuk kehidupan umum terdapat pakaian tertentu yang telah ditetapkan oleh
syara’. Jadi dalam kehidupan umum tidaklah cukup hanya dengan menutupi aurat,
seperti misalnya celana panjang, atau baju potongan, yang sebenarnya tidak
boleh dikenakan di jalanan umum meskipun dengan mengenakan itu sudah dapat
menutupi aurat. Celana panjang atau baju potongan itu hanya boleh ia kenakan
ketika berada di dalam rumah, dan ini termasuk ke dalam pakain mihnah atau
pakaian keseharian wanita di dalam rumah. Dan ketika ada laki-laki non mahram
yang ada di rumahnya, ia tetap boleh memakai pakain tersebut namun di tambah
dengan pakain lain yang menutupi aurat dia yakni agar semua auratnya tertutupi
kecuali yang biasa tampak yakni wajah dan telapak tangannya, dan tidak wajib
baginya untuk memakai jilbab (baju gamis) didalam rumahnya.
Ketika
berada di kehidupan umum, seorang wanita yang mengenakan celana panjang atau
baju potongan memang dapat menutupi aurat. Namun tidak berarti kemudian pakaian
itu boleh dipakai di hadapan laki-laki yang bukan mahram, karena dengan pakaian
itu ia telah menampakkan keindahan tubuhnya (tabarruj). Tabarruj adalah,
menempakkan perhiasan dan keindahan tubuh bagi laki-laki asing/non-mahram
(izh-haruz ziinah wal mahasin lil ajaanib) (An-Nabhani, 1990 : 104). Oleh
karena itu walaupun ia telah menutupi auratnya, akan tetapi ia telah
bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh syara’.
Wanita
dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu baju bawah (libas asfal) yang disebut
dengan jilbab, dan baju atas (libas a’la) yaitu khimar (kerudung). Dengan dua
pakaian inilah seorang wanita boleh berada dalam kehidupan umum, seperti di
kampus, supermarket, jalanan umum, kebun binatang, atau di pasar-pasar.
Adapun
dalil-dalil yang menjelaskan seputar memakai jilbab ketika keluar rumah dan
berada di area umum adalah sebagai berikut :
“Rasulullah Saw memerintahkan
kaum wanita agar keluar rumah menuju shalat Ied, maka Ummu ‘Athiyah berkata,
‘Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?’ Maka Rasulullah Saw
menjawab: ‘Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya!’” [Muttafaqun ‘alaihi]
(Al-Albani, 2001 : 82)
Berkaitan
dengan hadits Ummu ‘Athiyah ini, Syaikh Anwar Al-Kasymiri, dalam kitabnya
Faidhul Bari, juz I, hal. 388, mengatakan: “Dapatlah dimengerti dari hadits
ini, bahwa jilbab itu dituntut manakala seorang wanita keluar rumah, dan ia
tidak boleh keluar (rumah) jika tidak mengenakan jilbab.” (Al-Albani, 2001 :
93).
Dalil-dalil
di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan
umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini dalam dua ayat di atas yang
telah diwajibkan atas wanita agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan
perincian yang lengkap dan menyeluruh. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam
hadits dari Ummu ‘Athiah r.a. di atas, yakni kalau seorang wanita tak punya
jilbab —untuk keluar di lapangan sholat Ied (kehidupan umum)— maka dia harus
meminjam kepada saudaranya (sesama muslim). Kalau tidak wajib, niscaya Nabi Saw
tidak akan memerintahkan wanita mencari pinjaman jilbab.
Untuk
jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi harus terulur sampai ke bawah
sampai menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan: “yudniina ‘alaihinna min
jalabibihinna” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka).
Dalam
ayat tersebut terdapat kata “yudniina” yang artinya adalah yurkhiina ila asfal
(mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini —yaitu idnaa’ berarti
irkhaa’ ila asfal— diperkuat dengan dengan hadits Ibnu Umar bahwa dia berkata,
Rasulullah Saw telah bersabda:
“Barang siapa yang
melabuhkan/menghela bajunya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya
pada Hari Kiamat nanti.’ Lalu Ummu Salamah berkata,’Lalu apa yang harus
diperbuat wanita dengan ujung-ujung pakaian mereka (bi dzuyulihinna).” Nabi Saw
menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya (yurkhiina) sejengkal (syibran)’
(yakni dari separoh betis). Ummu Salamah menjawab, ‘Kalau begitu, kaki-kaki
mereka akan tersingkap.’ Lalu Nabi menjawab, ‘Hendaklah mereka mengulurkannya
sehasta (fa yurkhiina dzira`an) dan jangan mereka menambah lagi dari itu.” [HR. At-Tirmidzi, juz III,
hal. 47; hadits sahih] (Al-Albani, 2001 : 89)
Hadits
di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi Saw, pakaian luar yang
dikenakan wanita di atas pakaian rumah —yaitu jilbab— telah diulurkan sampai ke
bawah hingga menutupi kedua kaki.
Berarti
jilbab adalah terusan, bukan potongan. Sebab kalau potongan, tidak bisa terulur
sampai bawah. Atau dengan kata lain, dengan pakaian potongan seorang wanita
muslimah dianggap belum melaksanakan perintah “yudniina ‘alaihinna min
jalaabibihina” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya). Di samping itu
kata min dalam ayat tersebut bukan min lit tab’idh (yang menunjukkan arti
sebagian) tapi merupakan min lil bayan (menunjukkan penjelasan jenis). Jadi
artinya bukanlah “Hendaklah mereka mengulurkan sebagian jilbab-jilbab mereka”
(sehingga boleh potongan), melainkan Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab
mereka (sehingga jilbab harus terusan) (An-Nabhani, 1990 : 45-51).
Wallahu A’lam.
Wallahu A’lam.